“Kenapa Tuhan menciptakan kita berbeda-beda, jika Ia hanya mau disembah dengan satu cara?” (Annisa: 2009)
Sebuah penggalan dialog dari film cin(T)a (2009), yang membawa kami ke dalam sebuah diskusi. Diskusi yang memiliki topik yang sangat dalam, namun harus dibahas dengan kepala dingin, untuk meminimalisir konflik yang (sangat) mungkin terjadi.
“Lakum diinukum waliya diin” (Your way is yours, and my way is mine. al-Kafirun). Agamaku untukku, agamamu untukmu. Teman saya yang beragama Islam, mengingatkan saya mengenai konsep ini. Konsep yang seharusnya menjadi landasan perdamaian antar umat beragama. Konsep yang mungkin terkadang dilupakan, bukan hanya oleh umat Muslim, namun juga umat Kristen, Katolik, dan agama lainnya di dunia.
Tapi kami tidak membahas mengenai dakwah, kristenisasi, ataupun gerakan-gerakan lainnya. Kami membahas mengenai cinta. Cinta yang di film cin(T)a dibahas dengan blak-blakan, untuk memaparkan realita hubungan beda agama, yang kini sudah sangat umum terjadi.
“Karena itulah Tuhan menciptakan cinta. Supaya kita yang berbeda-beda ini menjadi satu.” (Cina: 2009)
Jadi, Tuhanlah yang menciptakan cinta. Lantas, siapa yang menciptakan agama? Tuhankah? Sayangnya, manusialah yang menciptakan agama (Karl Marx:1844). Agama dibentuk sebagai sarana manusia mengenal Penciptanya. Agama banyak disesuaikan dengan letak geografis, dengan adat istiadat, sesuai dengan daerah asal perkembangan agama tersebut. Agama tidak ubahnya sebuah “alat” manusia untuk membenarkan dirinya, dan untuk menghakimi orang lain.
Agama seharusnya menjadi jembatan penghubung antara manusia dengan Tuhannya. Tapi yang terjadi, terkadang agama justru menjadi perusak hubungan manusia dengan sesamanya. Hubungan vertikal oke, tapi jika hubungan horizontalnya bermasalah, maka apa arti hubungan vertikalnya? Dalam konsep kristen, salib menggambarkan hal tersebut. Satu garis vertikal, menggambarkan hubungan manusia dengan Tuhan. Garis horizontal, menggambarkan hubungan manusia dengan sesamanya. Keduanya harus saling mengisi, supaya tercipta bentuk salib yang sempurna.
Begitu pula 10 perintah Tuhan. 4 perintah awal, adalah mengenai hubungan manusia dengan Tuhan. 6 perintah berikutnya, adalah mengatur hubungan manusia dengan sesama manusia. Itu juga isi dari hukum kasih. Kita harus mengasihi Tuhan Allah dengan segenap hati. Tapi juga mengasihi sesama manusia seperti kita mengasihi diri kita sendiri.
Maka, apakah solusi untuk hubungan beda agama adalah dengan pindah agama? Bukankah agama hanyalah ciptaan manusia, sedangkan cinta adalah ciptaan Tuhan? Apakah dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa cinta lebih tinggi derajatnya ketimbang agama? Apakah dengan demikian, maka agama tidak lebih penting ketimbang cinta? Dan apakah dengan cinta, maka kita bisa mengenal Sang Pencipta? :)
Teman saya tadi berpendapat, bahwa langkah pertama untuk hubungan beda agama tersebut adalah dengan mengenali lebih jauh mengenai perasaan yang dirasa. Apakah memang itu cinta? Atau hanya kagum, suka, atau motif-motif lainnya? Dan jika memang benar itu cinta, maka biar cinta itu yang menjadi solusinya, nanti. Jika memang benar perasaan yang dirasa itu adalah cinta, maka pasti akan ada jawaban terbaik nantinya.
Saya yakin, Tuhan tidak buta. Dan Tuhan juga tidak bingung dengan ciptaannya. Toh manusia yang menciptakan agama, adalah juga ciptaan-Nya. Dia lah yang memberikan akal dan pengetahuan akan hal baik dan hal buruk kepada manusia. Dia juga yang memberikan kebebasan kepada manusia untuk berkembang. Dan dia pula yang memberikan manusia perasaan, untuk dapat merasakan cinta.
“Yakin lo masih mau sama gw? Tuhan gw aja berani gw khianatin, apalagi elo ntar..” (Annisa: 2009)
Dan statement inilah yang rasanya memberikan jawaban paling tepat. Paling rasional. Ketika pindah agama adalah sebuah tindakan “pengkhianatan” terhadap Tuhan, maka agama telah dianggap sebagai “Tuhan” itu sendiri. Padahal, siapakah manusia, sehingga membatasi Tuhan yang tidak terbatas? Padahal, siapakah manusia, sehingga merasa berhak menyimpulkan pemikiran Tuhan yang sebetulnya tidak mampu kita pikirkan?
Namun di satu sisi, jika komitmen kita terhadap agama yang kita pilih (ya, yang kita pilih ya, bukan yang dipilihkan oleh orang tua kita – mungkin pembahasannya di kesempatan lain :) ) dapat kita langgar, apalagi komitmen kita dengan orang lain. Padahal agama begitu statis, saklek, tidak banyak perubahan dan tuntutan yang aneh-aneh terhadap pemeluknya, sedangkan manusia begitu dinamis, penuh tuntutan yang sangat sering berubah, butuh usaha yang keras untuk dapat memahaminya. Jika pada agama yang statis saja kita tak mampu berkomitmen, apalagi pada manusia yang sangat dinamis?
Hey teman.. :)
Tidak menyangka, obrolan kita bisa jadi bahan pemikiran apalagi dituliskan… Cinta dikonfrontasikan sama agama yah. Apa memang memang harus dipertandingkan?? One question led to another yah..
And it always a pleasure to read yours
Mo komentar sedikit soal kutipan dari Karl Marx di atas, mungkin kalo kita menilai agama berdasarkan perilaku sebagian orang jaman sekarang, bisa jadi pendapat itu benar. Tapi kalo yang kita omongin adalah agama yang sesungguhnya, gw sih kurang sependapat. Metode yang bisa dipakai kurang lebih kayak gini: cari tau apakah Tuhan itu ada, cari tau Tuhan itu siapa, cari tau Tuhan itu ngomong apa. Omongan Tuhan itulah yang dijadikan agama. Beda dengan budaya yang merupakan hasil pemikiran tanpa menghiraukan sumbernya itu dari zat yang Maha Sempurna atau bukan. Karena itulah, budaya != agama.
ehem.. sebelum memulai komentar saya ini, saya ingin menanggapi 1 hal yaitu saya ingin sekali berdiskusi di forum mengenai hal ini bersama kalian wahai Sang Penulis & Sang Pengkomentar no. 1 untuk topik ini (& teman2 UN lainnya tentunya).. sepertinya akan sangat seruuuu.. tapi kapan saya UN lagi ya?? hahahhaha..
baiklah mari kita mulai komen dari saya ^^
saya setujuuuuuu dengan pendapat Bung Armeyn mengenai cinta beda agama.. jodoh itu Tuhan yang tentukan, tidak peduli agamanya sama atau beda karena agama itu manusia yang ciptakan.. meskipun saya belum pernah merasakannya dan walaupun jika saya merasakannya entah saya akan punya keberanian untuk melakukannya atau tidak karena saya tahu pasti bahwa menjalani sesuatu hal yang beda dari kebiasaan akan sangat berat.. banyak tekanan dari keluarga, teman, dan lingkungan.. tetapi apabila Tuhan telah berkata YA, maka manusia tidak bisa menolak, jadi manusia pasti bisa melakukannya dengan bantuan Tuhan.. jadi JANGAN TAKUT melakukan hal yang beda!
@hamzter
betul sekali mas/om (hahaha), bahwa agama != budaya. tapi pada dasarnya, agama di dunia terbagi atas 2, yakni agama samawi dan agama ardhi (http://tokbatinsenoi.forumotion.net/ugama2-agama2-aka-candu2-f32/agama-samawi-vs-agama-ardhi-t134.htm dan http://www.ustsarwat.com/web/ust.php?id=1183011041 ,, masih banyak referensi lain sih, tapi ini dulu aja kali yah? :D).
Agama Samawi, alias agama Ibrahimi, yakni yg turun langsung dari Tuhan. Ada 3, yakni Yahudi, Islam, dan Kristen. Akarnya sama (katanya), hanya saja makin ke sini, perkembangannya jadi berbeda.
Agama Ardhi, adalah hasil pemikiran manusia. Kitab sucinya karangan para pendeta atau orang terpandang. Berbeda dengan samawi, yang kitab sucinya merupakan Wahyu dari Tuhan YME melalui rasul, nabi, atau diturunkan langsung oleh Tuhan. Misalnya, agama Budha hasil pemikiran Sidharta Gautama di bawah pohon bodi (CMIIW).
Dan manusia, menurut saya, memiliki kebebasan untuk memilih. manusia diberikan akal dan perasaan, untuk bisa memilih bagaimana cara manusia mendekatkan diri kepada Penciptanya.
Menurut saya, Karl Marx berpendapat seperti itu (dia menyebutnya “kritik”), mengingat agama Samawi pun ternyata punya banyak sekali campur tangan manusia di dalamnya. Dalam agama saya, Alkitab pernah mengalami masa “dihabisi” oleh Kaisar Nero. Atau direvisi entah oleh Kaisar siapa (refer to Da Vinci Code.. hehehe). Jadi, kepercayaan kepada Sang Pencipta itu memang berasal dari Tuhan, tapi sarana apa yang akan digunakan, nah itu yang kembali lagi kepada manusianya.
@Sakura
Terimakasih. Nanti waktu dan tempat akan diatur oleh EO Jaya.. :)
Hmm,,sebenarnya saya belum berpendapat apa-apa di sini sih Mbak. Soalnya, saya sendiri masih melemparkan banyak sekali pertanyaan, seperti tentang level agama dan cinta. Mana yang lebih tinggi?
Justru, sorotan utama saya adalah bahwa agama terkadang dianggap sebagai “Tuhan” itu sendiri. Padahal, agama hanyalah “sarana” kita untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, selaku pencipta kita (CMIIW yah).
Saya tidak (belum) sampai pada kesimpulan bahwa cinta beda agama adalah sah. Saya juga tidak menentang, mengingat cinta adalah bahasa yang sangat universal. Hanya saja, kembali ke pemikiran terakhir saya di post ini, jika komitmen kita pada agama yang statis saja tidak mampu kita pertahankan, apalagi komitmen kita pada manusia yg sangat dinamis?
:)
Hayuuuu, mau kumpul, discuss, meskipun dina ga yakin bisa kasih masukan.. Sounds very interesting! Ham (hamzter), comin???
*Baru setengah hari duduk di booth yang jauh saja, saya sungguh merasa terasing*
@armeyn
Yup. Keberadaan agama2 tersebut memang terlihat di mana2. Karena itulah perlunya membedakan mana yang “sesungguhnya” dan mana yang bukan agar tidak terjebak pada pencarian kebenaran yang tidak efektif. Namun, bukan menjadi alasan untuk menghina kepercayaan2 lain walaupun kepercayaan2 lain itu salah. Allah juga mengingatkan manusia bahwa orang2 yang dihina belum tentu lebih buruk daripada orang2 yang menghina, karena tidak semua hal yang dilakukan seseorang itu salah. Namun, bukan berarti membenarkan hal yang salah dengan alasan menjaga kerukunan. Manusia bisa benar, walaupun mustahil untuk menjadi Yang Maha Benar.
Manusia diciptakan berbeda-beda, pada dasarnya adalah untuk berlomba-lomba dalam melakukan kebaikan, karena kebaikan itu sendiri tersebar pada masing2 diri manusia, dan apabila disatukan akan menjadi sebuah kebaikan yang utuh. Ibarat sebuah kesebelasan yang terdiri dari orang2 yang memiliki kemampuan masing2 yang unik dan berlomba-lomba untuk berkontribusi dalam rangka mencapai kemenangan (world cup fever mode). Tetapi, apakah anda akan melakukannya tanpa aturan2 yang jelas? Tentu tidak. Khan jadi gak jelas siapa yang menang kalo aturannya gak jelas :D
Mengenai beberapa ciptaan Tuhan, seperti cinta dan akal, sudah pasti ada aturan2 yang sudah dibuat oleh yang Maha Pandai untuk mengarahkan ciptaan-Nya ke jalan yang benar. Maka, alangkah tidak bijaksananya apabila cinta dan akal ditempatkan lebih tinggi daripada Tuhan. Tapi apakah adanya aturan2 itu menjadi tidak relevan dengan sisi dinamis dari seorang manusia? Tentu tidak. Kreatifitas sejati tidak akan bisa dibatasi oleh aturan2 apapun. Banyak sekali hal2 yang bisa dilakukan tanpa harus melanggar aturan2 tersebut.
Monggo dilanjutkan diskusi yang menarik ini :)
@hamzter
Wah, si Om mulai beraksi. :) Betul mas Ham, bahwa sebagai manusia, tentu sangat tidak terpuji jika kita saling menghina. Apalagi seperti tulisan Anda, yakni menghina dengan alasan bahwa kepercayaan lain salah. Muncul lagi satu pertanyaan : darimana kita yakin bahwa kepercayaan kita benar, dan kepercayaan lain salah? Bukankah hampir setiap umat beragama pasti berpikiran yang sama? Dan justru, pemikiran itulah yang membuat kini dunia sangat sensitif terhadap isu tersebut.
Itulah mungkin yang menjadi pemikiran Marx, ketika dia menyampaikan kritiknya. Marx terlalu jengah melihat bahwa ternyata umat yang katanya ber-“agama”, nyatanya malah melakukan tindakan-tindakan yang “gama” (tentu ingat asal kata ‘agama’ dong, dari bahasa latin -> a=tidak, gama=kacau, maka agama=tidak kacau, pelajaran SMA kayaknya.. hehehe).
Keprihatinan Marx memunculkan pemikiran baru, yang mungkin semestinya disadari oleh umat beragama. Marx tidak berusaha mengajak manusia untuk tidak beragama atau menjadi atheis (tentang atheis, bisa baca di sini. http://goenawanmohamad.com/esei/tentang-atheisme-dan-tuhan-yang-tak-harus-ada.html GM mencoba menjelaskan asal muasal atheis), hanya saja Marx mengingatkan umat beragama, untuk tahu siapa yang disembahnya (Janganlah menyembah jikalau tidak mengetahui siapa yang disembah. – Syekh Siti Jenar). Pemahaman yang lebih dasar daripada sekedar aturan dan ritual, justru lebih esensial (dan efektif) ketimbang melakukan sesuatu tanpa paham atas apa yang dilakukan. :)
Keberadaan aturan, seperti analogi pertandingan sepakbola, tentu saja memang perlu. Betul, kita tidak akan tahu siapa yang jadi pemenang, jika sebelumnya tidak ada aturan. Namun darimana kah ada aturan 2 X 45 menit? Kenapa harus 2 babak? Kenapa bolanya hanya 1? Kenapa pemainnya 11 orang per tim? Kenapa tidak 5 orang per tim? (Okey, kalo pertanyaan terakhir gampang jawabnya : soalnya kalo 5 orang berarti main voli. hehehehe).
Pertanyaannya malah makin berlanjut, Om Ham. :) Betul, manusia diberikan akal dan banyak petunjuk di kitab suci kita (Al-Quran dan Alkitab) mengenai “aturan main” kita di dunia. Tujuannya? Ya persis seperti yang Om Ham bilang, untuk berlomba-lomba melakukan kebaikan, dan menggapai surga (kalo yang terakhir ini saya yang tambahkan yah.. :) ). Ketika ada aturan main yang jelas di kitab suci kita, tapi lantas kenapa muncul banyak aliran? Di Kristen, muncul Katolik dan Protestan. Di Islam, jika saya tidak salah, ada Syiah, Sunni, dan lain-lain. Di dalam protestan sendiri, nanti akan ada banyak aliran. Ada Pantekosta, ada Bethel, dan lain sebagainya.
Kira-kira kenapa bisa begitu ya? Ya jawabannya karena itu tadi, karena manusia menafsirkannya dengan berbeda-beda. Banyak juga yang diakulturasikan dengan kebudayaan setempat, yang membentuk sebuah “ritual” tidak resmi dari sebuah agama. Di daerah saya di Sumatra Utara sana, banyak sekali yang seperti itu soalnya. :) Seperti peraturan permainan bola, dari sebuah bola, lapangan, 11 orang pemain per tim, gawang, dan waktu permainan yang 2 X 45 menit tadi, akan ada banyak sekali strategi bukan? Ada yang bermain dengan catenaccio seperti Itali. Ada yang Total Football seperti Belanda. Ada yang kick & rush seperti Inggris. Padahal aturannya sama lho. Ada pula yang disesuaikan dengan negaranya. Negara-negara Afrika yang penduduknya berstamina tinggi, tentu tahan berlari-larian seharian di lapangan. Tentu saja strateginya berbeda dengan tim dari Yunani yang berada di dataran tinggi dan oksigennya tipis.
Apakah agama kurang memberikan panduan yang jelas mengenai “aturan main”? Lantas dari mana kita memperoleh “aturan main” yang sebenarnya? Bukan dari sekedar “agama” bukan? Menurut saya, dari pemahaman yang lebih dalam dari agama itu sendiri..
Sok atuh, dilanjutkeun.. ^_^
Jangan panggil om atuh. Gini-gini banyak yang ngira gw 5 tahun lebih muda lho :D
Perbincangan kita makin menarik. Walopun ada bagian yang agak OOT gara-gara demam piala dunia (hahaha..) yang penting belajar :D Sebelumnya ada yang mau saya klarifikasi sedikit, yaitu pada kalimat “menghina dengan alasan bahwa kepercayaan lain salah”. Sebenarnya bukan itu yang saya maksud, melainkan Tuhan melarang menghina orang lain yang kepercayaannya salah. Karena tidak semua hal yang dilakukan selama hidupnya adalah salah, walaupun kepercayaan yang dia anut adalah salah. Lalu, bagaimana kita mengetahui bahwa kepercayaan kita benar dan yang lain salah? Jawabannya adalah belajar. Tidak ada pilihan lain. Kemudian, mengapa masing-masing umat beragama berpikiran bahwa agamanyalah yang benar? Kemungkinannya adalah perbedaan cara belajar masing-masing individu. Selain itu, bisa juga disebabkan oleh adanya kesulitan dalam meninggalkan tradisi, adat, budaya, dan kebiasaan lainnya. Karena kesulitan tersebut, mereka berusaha mencari agama yang ajarannya paling banyak beririsan dengan budaya mereka dan bukan atas dasar kebenaran. Oleh karena itu, isu “masing-masing umat merasa agamanya paling benar” menjadi sangat sensitif di dunia. Betapa banyaknya budaya yang dimiliki manusia di dunia ini dan banyak yang melestarikannya hanya karena alasan “sudah bertahun-tahun dipercaya dan diwariskan turun temurun”. Potensi kekacauan sangatlah besar apabila memulai pencarian kebenaran dengan melakukan perbandingan ajaran antar agama, karena sangat besar pula kemungkinan terjadi benturan antara ajaran agama dan budaya. Beberapa orang yang terlanjur menyerah akan menganggap bahwa agama adalah sumber kekacauan dan menyimpulkan bahwa agama itu adalah buatan manusia yang masing-masing memiliki kelemahan. Oleh karena itu, perbandingan ajaran agama bukanlah langkah yang bijak untuk mencari kebenaran. Tuhan telah mengisyaratkan bagaimana mencari kebenaran yang efektif dengan meletakkan pentingnya mempercayai 1 Tuhan yang dinyatakan pada awal 10 perintah Tuhan (yang diyakini para pemegang Taurat dan Injil), awal rukun islam dan rukun iman (yang diyakini umat Islam). Oleh karena itu, melakukan perbandingan Tuhan antar agama yang satu dengan agama lainnya dalam rangka mencari Tuhan yang benar merupakan langkah awal yang sangat prinsipil. Dengan meyakini bahwa Tuhan merupakan zat Yang Maha Sempurna, tentunya akan bisa teridentifikasi, bahkan dengan akal manusia sekalipun, yang mana zat Yang Maha Sempurna dan mana yang bukan.
Mari kita main bola lagi. Joga bonito!! :D
Analogi sepakbola di sini sebenarnya bukan ke arah yang anda jelaskan. Tentang pertanyaan-pertanyaan seperti darimana aturan sepakbola itu? kenapa 2 x 45 menit? kenapa 2 babak? kenapa bolanya 1? kenapa pemainnya 11? mungkin pertanyaannya bisa tambah banyak, seperti kenapa kalo bolanya kepegang termasuk pelanggaran? toh belum tentu gol juga walaupun pake tangan. kenapa gak boleh mencetak gol ke gawang sendiri? khan buat kita para pemain lebih gampang. Kalo para pemainnya bertanya terus seperti itu, lama-lama wasitnya yang balik tanya. “Anda mau main bola atau tidak? Selama anda bermain di lapangan sepakbola ini, yang menentukan pelanggaran atau tidaknya adalah saya.” Dan memang keputusan yang sah adalah yang ditetapkan oleh wasit. Oleh karena itu, para pemain harus bisa membedakan mana yang wasit dan mana yang bukan. Dan sepertinya cukup mudah membedakannya. Bayangkan apabila keputusan pemain itu sendiri atau penonton ikut dianggap sebagai keputusan yang sah. Pastinya akan terjadi kekacauan dalam permainan sepakbola tersebut. Apalagi jika memakai peraturan olahraga lain seperti catur atau balap sepeda dalam sepakbola. Namun, bukan berarti para pemain tidak boleh memutuskan akan melakukan apa dan menggunakan strategi apa dalam pertandingan. Selama tidak melanggar peraturan, hal tersebut boleh-boleh saja. Strategi manusia akan sangat dinamis dan terus berkembang, walaupun tetap berada dalam aturan yang benar.
Ok. Lalu, mengenai munculnya berbagai aliran, umat Islam itu sendiri juga sudah diingatkan atas kemunculan aliran-aliran tersebut. Namun, yang dijanjikan surga hanya aliran yang setia kepada Allah dan hukum-hukumnya yang tercatat dalam Al Quran. Mungkin untuk yang berkeyakinan lain dapat ikut menjelaskan juga tentang berbagai aliran tersebut.
Baiklah. Waktunya main bola lagi (nyundul bola).
Wah.. Menyenangkan pagi-pagi banyak belajar.. Terusin lagi dong diskusi tulisannya.. :)
P.s. : ilham ada blog juga ga sih? enak baca tulisannya..
Baiklah. Mari membahas analogi sepakbola yang anda kemukakan. :)
Ketika Om Ham menggunakan analogi wasit, yang terpikir oleh saya, adalah bahwa wasit sebagai penentu dari peraturan yang dijalankan di dalam lapangan. Faktanya, wasit sendiri punya banyak sekali kelemahan. Oke, wasit memang punya hak lebih untuk menentukan apakah sebuah kejadian adalah pelanggaran atau tidak. Wasit juga punya hak untuk menentukan akan dilakukan tendangan bebas atau tidak. Namun, apakah wasit bertindak atas nalurinya sendiri? Tentu tidak. Baik wasit, pelatih, penonton, dan pemain bola itu sendiri seharusnya sudah mengetahui lebih dahulu peraturan-peraturan dasar dari permainan sepakbola. Bukan begitu?
Mari kita kembalikan ke pembahasan awal. Agama.
Wasit saya artikan sebagai seorang pemimpin agama. Peraturan saya artikan sebagai kitab suci.
Dan pemain, saya artikan sebagai umat beragama.
Lantas, apakah wasit memegang peranan yang penting dalam sebuah pertandingan? Tentu. Apakah pemain boleh menggunakan strateginya sendiri asalkan tidak melanggar peraturan? Tentu. Tapi apakah lantas ketika pemain melakukan sebuah tindakan, yang bagi wasit adalah sebuah pelanggaran, namun menurut peraturan bukanlah sebuah pelanggaran, maka itu disebut BENAR-BENAR pelanggaran?
Handsball misalnya. Dikatakan di peraturan, jika dilakukan dengan sengaja, maka seharusnya dikenakan kartu kuning. Lantas apakah kita lupa pada pertandingan kualifikasi Piala Dunia 2010, ketika Henry menyentuh bola dengan tangannya untuk mengontrol laju bola, dan kemudian menceploskan si kulit bundar ke gawang Irlandia, dan menyebabkan Prancis lolos ke Afsel? Pelanggarankah? Kenyataannya tidak.
Menurut saya, bukanlah wasit yang menjadi pedoman dalam pertandingan sepakbola. Tapi peraturan itu sendiri. Betul, wasit punya hak lebih dalam hal menentukan benar-salahnya tindakan pemain. Tapi apakah wasit menjadi lebih tinggi derajatnya ketimbang peraturan sepakbola itu sendiri? Tentu tidak.
Wasit berguna untuk membantu menjalankan peraturan pertandingan. Tapi wasit, BUKANLAH peraturan itu sendiri.
Mengenai perbandingan agama, saya sangat sepakat dengan Anda Om, bahwa untuk mengetahui bahwa kepercayaan kita benar dan yang lain salah adalah melalui belajar. Tapi belajar sendiri ada banyak caranya. Persis seperti yang anda katakan, melalui cara belajar yang berbeda-beda, maka akan muncul juga banyak pemahaman yang berbeda.
Lantas cara belajar yang mana yang paling efektif?
Ada yang bilang pada saya, bahwa cara belajar yang paling efektif adalah dengan mengalami sendiri. Seorang pendeta di gereja tempat saya dulu pernah beribadah, mengatakan dirinya pernah mengalami pengalaman spiritual yang tak bisa ia lupakan. Sejak itu, ia yakin sepenuhnya pada iman Kristen. Mungkin di Islam, juga ada orang2 yang seperti itu, bukan begitu?
Lantas, bagaimana dengan yang tidak pernah mengalami pengalaman spiritual demikian? Apakah menjadi tidak 100 persen yakin dengan agamanya? Tentu tidak. Karena selain akal, ternyata Tuhan juga membekali kita dengan perasaan. Gabungan antara akal dan perasaan manusia itulah yang menghasilkan sebuah “wujud” kasat mata bernama iman. Kadang, betapa irasionalpun sebuah kondisi, dengan peranan iman, maka kita tetap meyakininya.
Itu juga yang menjadikan kita, sebagai penganut sebuah agama, menjadi taat dan tunduk pada “aturan” yang berlaku. Karena kita mengimani sesuatu, mengimani suatu hal, yang mungkin sulit ditransfer kepada orang lain, namun hanya menjadi komoditi pribadi. Got the point? :)
Maka, kembali lagi ke tulisan awal saya di post ini : “Lakum diinukum waliya diin” (Your way is yours, and my way is mine. al-Kafirun). Agamamu untukmu, agamaku untukku.
Prinsip ini yang mencegah kita membanding2kan agama kita dengan agama orang lain. Yang lebih mendasar, prinsip inilah yang mencegah kita membanding2kan IMAN kita dengan IMAN orang lain. Terkadang, banyak orang berusaha memaksakan imannya kepada orang lain, padahal iman itu harus dialami dan disadari sendiri. Bagaimana mungkin? @_@
Itulah kenapa saya kutip Syekh Siti Jenar, “Janganlah menyembah jikalau tidak mengetahui siapa yang disembah” (terlepas dari kontroversi mengenai Syekh Siti Jenar sendiri yah.. hehehe), tapi dengan memahami hal itu, kita jadi bertanya pada diri sendiri, sudahkah anda mengenal Siapa yang Anda sembah?
@dina rianti
your wish is my command. HALAH.
:)
@armeyn
Baiklah. Kembali ke sepakbola. Memang dalam hal ini saya tidak hendak menyoroti bahwa wasit adalah makhluk yang memiliki kelemahan. Namun, yang hendak saya soroti adalah tentang apa yang harus kita lakukan setelah mengetahui siapakah yang sebenarnya berhak mengatur permainan, yaitu setelah melakukan penelitian secara seksama atas berbagai suara-suara yang terdengar di seluruh stadion sepakbola. Setelah mengetahui dengan jelas, maka kita tidak perlu lagi untuk mengikuti suara-suara selain wasit.
Untuk kasus henry merupakan salah satu contoh konkrit bahwa, suka tidak suka, keputusan wasit lah yang dianggap sah. Karena memang sang wasit adalah orang yang menentukan benar dan salah atas yang terjadi selama pertandingan (terlepas dari kekurangan si wasit yang tidak mengetahui segalanya. Berbeda dengan Tuhan yang selalu benar).
Lalu mengenai IMAN, saya tidak pernah menyuruh untuk membandingkan iman antara manusia yang satu dengan yang lainnya, kerena itu merupakan wewenang absolut dari Tuhan dalam menentukan siapa manusia yang beriman (dalam Al Quran juga dikatakan bahwa jangan kamu katakan dirimu telah beriman, sedangkan kamu belum diuji. Oleh karena itu, hanya Tuhan lah yang berhak menilai IMAN seseorang). Tetapi, saya menghimbau untuk mempelajari Tuhan manakah yang membawa agama yang benar. Agama yang benar pastinya dapat dirasakan oleh hati dan dipahami oleh akal. Tidak mungkin Tuhan menciptakan akal sebatas untuk memikirkan duniawi saja, melainkan juga untuk bisa mengenali siapa Tuhan itu sebenarnya. Oleh karena itu, sejak awal saya himbau untuk mencari tahu apakah Tuhan itu ada? Siapakah Tuhan itu? Dan apakah yang Tuhan katakan? Pengalaman spriritual saja tidak cukup untuk mengenal Tuhan, karena Tuhan Maha Adil dan tidak menciptakan dunia ini berat sebelah. Tidak hanya sisi spiritual saja yang dapat mengenali kebesarannya, namun bisa dikenali pula dari sisi intelektual.
Mengenai surat Al Kafirun, sebaiknya dicek kembali sebab-sebab turunnya ayat tersebut. Di sana anda akan mendapatkan bahwa sebenarnya surat tersebut bukan ditujukan untuk membanding-bandingkan iman seseorang.
@dina rianti
Blom punya sih blog tentang religi.
Setuju sama ilham, kalo surat Al-Kafirun itu bukan ditujukan untuk membanding-bandingkan kepercayaan yang berbeda. Dan dina yakin armeyn juga mengerti poin yang itu. Sejauh pemahaman dina, Justru surat Al-Kafirun itu ditujukan agar tidak mencampur-campurkan kepercayaan yang berbeda itu.
Bukankah perbedaan itu indah, ketika kita bisa saling menghormati dan hidup berdampingan tanpa harus memaksakan agar sejalan.
Tapi jadi penasaran, emang iya yah semua hal bisa diproses sama akal. Karena Ada beberapa hal yang dina yakinin karena memang yakin (terutama tentang iman dan hubungan sama Yang Maha Pencipta), ada beberapa pertanyaan yang belum ada alasan yang bisa diterima logika sebagai dasar. Tapi terlalu naif untuk bilang kalo keyakinan buta, karena memang dina sendiri masih terus dalam proses belajar untuk mengerti, tapi bukan berarti keyakinan itu harus hilang karena belum ada penjelasan akalnya kan..
Senang bisa belajar bersama disini :).
Btw ham, apaan sih blog religi, jadi pengen ketawa bacanya, kayak semacam sinetron gitu deh ngebayanginnya, sinetron religi..
@dina rianti
hahaha.. iya ya. kedengerannya kyk sinetron. ya sudah lah. semoga penasarannya bisa memacu semangat belajar kita :D bukan begitu mas armeyn? mohon mangap (baca:maaf) lho kalo ada kata-kata yang kurang berkenan :D
@hamzter
Sayangnya kata2 anda udah kurang berkenan dari dulu Om.. HAHAHA.. :D
Kembali ke Al-Kafirun, bukankah memang surat itu bukan ditujukan untuk membanding2kan agama? Kenapa arahnya jadi ke situ ya? Kan dari awal sudah dikatakan bahwa justru prinsip ini yang bisa mencegah terjadinya perselisihan dikarenakan membanding-bandingkan agama. Tujuannya justru mulia sekali (setidaknya menurut pemahaman saya yang baru2 ini mencari tafsirannya), yakni untuk melepaskan diri dari ibadah2 orang musyrik, dan mengajak manusia (dalam hal ini umat Islam) untuk ikhlas dalam melakukan amalan. Terlihat juga sebab-sebab turunnya surat itu, dan betul2 memberikan pencerahan. ^_^ CMIIW yah. :)
Terimakasih untuk sarannya, yakni untuk mempelajari sebuah kutipan secara holistik, bukan sepotong-sepotong. :)
Om Ham, bagaimana jika para pemain, pelatih, dan penonton tidak sepakat dengan wasit tersebut? Bagaimana jika FIFA (sebagai otoritas tertinggi sepakbola) juga tidak sepakat dengan wasit tersebut? Dan kemudian wasit tersebut tidak digunakan kembali dalam pertandingan lainnya? Bukankah FIFA (dalam hal ini sebagai pembuat peraturan) menginginkan pertandingan dipimpin oleh wasit yang fair?
Justru saya hendak mengajak kita semua tidak hanya terpaku pada wasit, tapi mengaculah pada FIFA, pada sang peraturan itu sendiri. Itulah yang saya himbau (kalo ngopi kata2 lo nih ham. HAHAHA) sejak awal, yakni mencoba melihat lebih dasar dari sekedar “agama” itu sendiri.
Mengapa di sini saya justru menganalogikan wasit sebagai “agama”, karena dari “peraturan” yang sama (dalam hal ini taurat yang diakui oleh 3 agama, yakni Kristen, Islam dan Yahudi), bisa muncul pemahaman yang berbeda, bisa muncul “keputusan” yang berbeda, yakni tergantung pada wasitnya.
Saya, berusaha untuk tidak mencari wasit yang paling fair. Karena wasit, dengan masing2 pandangannya, dengan masing-masing latar belakangnya, bisa menghasilkan keputusan yang berbeda2. Tapi justru hendak menelisik kembali ke peraturannya. Karena peraturannya lebih statis. Peraturannya lebih saklek.
Karena ketika terjadi sebuah pelanggaran (misalnya ada pemain yang ditekel dari belakang) dalam sebuah pertandingan, maka wasit A bisa saja menilai bahwa itu layak dapat kartu kuning. Wasit B bisa saja menilai bahwa pelanggaran itu berhak mendapatkan tendangan bebas. dan Wasit C bisa saja menganggap itu bukan pelanggaran, dan meneruskan permainan.
Betul, dalam pertandingan, membutuhkan wasit. Dan saya juga tidak menghimbau kita untuk membandingkan antar wasit. Tapi berpedomanlah pada peraturan FIFA. Pada peraturan terdasar yang menjadi pedoman para wasit. Bukan hanya pada wasitnya.
@dina rianti
Tuhan memang menciptakan akal untuk membedakan manusia dengan ciptaan lainnya. Dan menurut saya, banyak hal yang tidak hanya menggunakan akal, namun juga menggunakan perasaan.
Akal manusia, diciptakan serba terbatas. Dan untuk itulah, diciptakan perasaan, yakni ketika akal sudah tidak mampu lagi memproses. Cinta, bukan hanya urusan akal. Iman, bukan hanya urusan akal. Dan banyak hal lain yang memang tidak bisa diproses oleh akal, dan hanya bisa diteruskan oleh perasaan. Pasti mbak Dina punya pengalaman tentang hal ini. (Ahahahahaayyy :D)
Mengenai statement “bukankah perbedaan itu indah, ketika kita bisa saling menghormati dan hidup berdampingan tanpa harus memaksakan agar sejalan”, saya sepakat 1000%. :) Saya selalu percaya, bahwa keseragaman bukanlah solusi.
@armeyn
:D bagus.. bagus.. Udah mulai ada kesepahaman. Jadi, sebenarnya sudah terjawab bukan, makna dari “apakah Tuhan itu ada? siapakah Tuhan itu? apakah yang Tuhan katakan?” Terlepas dari berbagai kekurangan pada analogi yang saya sampaikan.
Sekali lagi, saya minta maaf jika ada kata-kata yang kurang berkenan, kalau memang sudah dari awal, yaitu komentar saya tentang Karl Marx tersebut, sudah menyinggung Anda (bilang dong, men :D ). Memang topik ini harus dibahas dengan kepala dingin, seperti yang telah Anda sampaikan. Terus terang, gak ada sama sekali niat untuk membuat keributan kok, men. Beda itu biasa kok. Dan memang manusia diciptakan berbeda-beda, seperti yang sudah saya sampaikan sebelumnya. Saya juga memahami bahwa tidak ada paksaan dalam beragama. Dalam agama saya pun sudah ditegaskan dalam surat Al Baqarah:256. Namun, untuk beberapa orang memang belum jelas tentang mana yang benar dan mana yang salah. Tetapi kalau memang sudah mengerti, silahkan jalani. Toh, tidak ada paksaan dalam beragama.
Akal manusia diciptakan serba terbatas, saya setuju. Bukan cuma akal, tetapi perasaan juga terbatas. Bahkan seluruh yang melekat pada manusia itu terbatas. Tuhan itu Maha Penyayang, manusia cuma bisa jadi penyayang. Tuhan itu Maha Adil, manusia cuma bisa adil, dst. Oleh karena itu, seluruh potensi pada manusia itu harus digunakan secara berimbang. Tetapi, apakah semua hal tentang Tuhan tidak bisa dipahami dengan akal? Tentu tidak. Contoh, akal manusia tidak akan dapat memahami mengapa alam semesta itu luas sekali dan apakah ada ujungnya atau tidak dan bagaimana cara Tuhan mengatur semua itu. Tetapi, akal bisa meyakini bahwa yang menciptakan dan mengelola hal tersebut pasti bukan manusia. Memang harus diseimbangkan dengan baik antara akal dan perasaan agar tidak terlalu cenderung kepada akal yang memungkinkan untuk terjangkitnya paham liberal, plural atau pun menjadi agnostic, dan tidak pula cenderung kepada perasaan, seperti mengikuti mentah-mentah kebiasaan nenek moyang yang “dirasa” benar.
Untuk kalimat terakhir Anda, mungkin bisa saya tambahkan sedikit, yaitu “bahwa keseragaman bukanlah solusi untuk segala sesuatu”. Karena banyak sekali manusia yang mencari sebuah solusi dengan cara membuat sebuah standard atas berbagai masalah yang dihadapi mereka. Dan itu pun bukan hal yang salah. Bahkan banyak yang terbantu dengan adanya standard tersebut. Agama pun dahulunya adalah satu, sejak diturunkannya Adam ke dunia, yaitu Adam menyembah kepada yang menciptakannya dan Adam mengikuti apa yang diperintahkan oleh penciptanya. Keturunannyalah yang hingga saat ini menciptakan agama-agama buatan. Namun, apakah semua agama yang ada sekarang adalah agama buatan? Mari kita teliti. Pasti ada satu yang benar :) Masa Tuhan tega membiarkan manusia di akhir jaman ini tersesat semua.
Mari kembali ke topik, yaitu cin(t)a (prikitiiiiiew… setelah sekian lama, akhirnya kembali ke topik :D ). Menurut hemat saya.. (dengan gaya Butet K. :D ), kalo ada pasangan yang berbeda agama, itu artinya mereka sudah memiliki paham yang sama, misalnya menganggap bahwa agama itu tidak harus dijadikan jalan hidup atau tidak harus diikuti 100% atau sekuler dsb, yang penting cinta (suit suit… :D ). Itu sudah bisa dikatakan sepaham. Kalau memang pasangan kita tidak ada kesepahaman, ya cari yang lain. Toh, dunia tidak selebar layar monitor (hahahaha… :D sekalian ngingetin diri sendiri ah).
Demikianlah sodara-sodara, mari kita terus mencari kebenaran yang sebenar-benarnya, belajar dari sumber aslinya, belajar pada ahlinya, mengurangi belajar dari film :D dan cerita-cerita yang diragukan kebenarannya, tidak menggeneralisasi kesalahan suatu umat sebagai sebuah ajaran agama, dan sekali lagi, dulunya agama itu satu lho. Kira-kira yang mana yang benar? Boleh dong kita teliti lebih lanjut :)
Soal statement “bukankah perbedaan itu indah, ketika kita bisa saling menghormati dan hidup berdampingan tanpa harus memaksakan agar sejalan”, saya juga setuju sekali. Hal tersebut juga merupakan bentuk kesepahaman dengan orang lain, dan orang-orang yang saling menghormati satu sama lain, mau diapain juga emang beda kok. Gak bakalan sama walaupun udah hormat. Tetapi, kalau pernyataan tersebut diterjemahkan sebagai pembolehan untuk hubungan beda keyakinan, silahkan dicek pada masing-masing ajaran agama yang Anda yakini. Itupun hanya berlaku bila memang agama masih dianggap penting.
Monggo dilanjutkan, jika masih berkenan :)
Wah, balik lagi ngomongin cin(T)a yah.. Hmm.. *berpikir keras, tapi belum ketemu jawabannya* hahaha
Dengan tekun membaca kalimat2 armeyn dan hamz, memberikan insight sekaligus pertanyaan2. Proses belajar yang menyenangkan :). Kalimat yang ini menghakimi sekali yah, “kalau ada pasangan yang berbeda agama, itu artinya mereka sudah mempunyai paham yang sama, Misalnya menganggap bahwa agama itu tidak harus dijadikan jalan hidup atau tidak harus diikuti 100%, atau sekuler dsb”, emang gitu yah.. Hmm..
*Ngebayanginnya kalo kita diskusi live, biar pasti dingin, ke freezer penyimpanan daging di carrefour2 setempat, hehhehee”
@dina rianti
Monggo direnungi dulu. Setiap orang memang punya preferensi masing-masing kok. Ada yang butuh banyak berpikir dalam terlebih dahulu, ada juga yang butuh banyak diskusi baru tau jawabannya.
Menghakimi? Hm.. mungkin juga. Tapi ini memang hanya pengamatan pribadi. Banyak pasangan (yang sudah jadi atau sudah menikah) terlihat bisa bertahan terus bersama karena sudah memiliki paham yang sama. Boleh dikoreksi kalo ada penjelasan yang lebih tepat :) Contoh yang saya sebutkan itu hanya sebagian kecil. Bisa jadi karena ada anggapan bahwa agama itu urusan individu dan tidak perlu dipermasalahkan dalam suatu hubungan, dan lain-lain. Masih banyak lagi. Silahkan ditambahkan bila perlu.
@hamzter
Ah elah Ham, minta minta maap mulu.. Kayak ga kenal saya ajah. Kan saya ga suka maapin orang. :D hahahaha..
Ngga lah, ini murni diskusi koq, dan perbedaan pendapat itu memang sangat mungkin terjadi. Makanya, dari awal kan udah dibilang, topiknya sensitif, jadi harus diskusi dengan pikiran terbuka yah. Toh belajar itu tidak hanya dari satu sumber saja. :)
Mengenai manusia yang serba terbatas, ini jangan jadi masuk ke ranah filsafat lho. Hahaha.. (*jempol*) soalnya kalo udah ngomongin esensi manusia apakah terbatas atau tidak, nanti jadi panjang urusannya. hihihi.. Cuma saya ndak setuju kalo manusia dibilang serba terbatas. Ada satu koq yang ndak terbatas, yaitu imajinasinya. :)
Mengenai keseragaman bukanlah solusi, sepertinya penerapan standar bukan termasuk dalam bentuk keseragaman ya Ham.. Justru penerapan standar adalah hanya untuk memberikan pagar, supaya ndak keluar jalur.
Untuk pasangan beda agama, nah ya itu tadi Om Ham. Terjadi kesepahaman, dalam bentuk apapun. Dalam hal ini, terjadi kesepahaman untuk mengedepankan “cinta”, ketimbang “agama”. That’s the point! Semua diskusi kita, sebetulnya mengarah pada adanya kesepahaman antara 2 orang yang saling mencintai. Entah itu kesepahaman untuk saling menerima agama dan kepercayaan antar mereka, ataupun kesepahaman untuk tidak mempermasalahkan hal tersebut.
Kesepahaman tidak berarti keseragaman, atau memilih salah satu. Tentu tidak. Justru kesepahaman adalah untuk menyatukan 2 hal (atau lebih) yang berbeda, saling menerima, dan terus berjalan meskipun ada perbedaan. Kesepahaman juga hendaknya tidak dipaksakan, karena harus muncul dari pemahaman individu, dari kesadaran pribadi, bukan dari orang lain.
Dunia memang ngga sebesar layar monitor Ham, lu aja yang nganggepnya gitu.. Hahaha.. Tapi jangan lupa, dunia mungkin memang jauh lebih lebar dari layar monitor, tapi mungkin waktu kita hanya sepanjang kabel mouse Ham, jadi kalo bisa jangan disia-siakan. HAHAHAHA.. *menohok* :D
@dina rianti
Carefour jauh, mending ke kulkasnya Kemchick aja, cukup dingin koq. :D *komen ngga penting.. hahaha*
Kalo saya sih, setuju dengan kalimat Om Hamzter yang itu, yang bilang bahwa udah terjadi kesepahaman. Dalam hal apapun yah. Karena kan 2 orang menikah (bahkan tidak hanya menikah. Pacaran, kerjasama, berkelompok, arisan, dan ngegosip jg termasuk) akibat adanya kesepahaman antara mereka.
Namun ketika masalahnya menjadi mengenai agama, tentu kesepahaman yang dilakukan menjadi jauh lebih kompleks. Tapi, ketika mereka memutuskan untuk melanjutkan, tentu mereka sudah paham apa konsekuensinya, apa kesulitannya, apa risikonya, dan hal2 lainnya.
Untuk kasus film cin(T)a, yakni ketika mereka memutuskan untuk tidak melanjutkan, menurut saya, adalah karena ada kesepahaman antara mereka bahwa mereka tidak dapat sepaham dalam urusan agama. In the other words, and this one is my favorite : mereka sepakat untuk tidak sepakat.
@hamzter
Saya jadi keinget statement Anda tentang mengurangi belajar dari film. Ga setuju ah. Belajar boleh dari mana saja, termasuk dari film. Knowledge is free, isn’t it? Setidaknya, ketika kita ke Ambassador dan mau belajar dari film, knowledge is just Rp.6000. :)
@armeyn
Ta elaaah.. menohok nih ye. Yah, geli geli dikit lah diklitikin. HOHOHOHO… :D
Lho lho mas.. kalo mo ngomongin filsafat masuk dulu ke Institut Teknik Filsafat dan Ilmu Agama. hahahaha… Manusia itu memang serba terbatas. Termasuk imajinasinya. Toh, se-kreatif-kreatifnya manusia, ada kalanya juga imajinasinya mentok dalam membayangkan hal baru, walaupun cuma sedetik. Namun, Tuhan punya kuasa untuk memperlebar batas itu. Sehingga, terkesan tidak memiliki batas. Kalau memang tak terbatas, yah musti jelas ukurannya. Apa pembandingnya? Yah, yang paling tepat adalah Tuhan. Kalau memang setara dengan Tuhan, baru bisa dikatakan tidak terbatas. Orang yang merasa bahwa imajinasinya tidak terbatas, bukankah itu tanda kesombongannya? Karena batasnya itu diperluas secara bertahap oleh Tuhan. Berbeda dengan Tuhan yang memang tidak memiliki batas sejak awal.
Keseragaman bukan solusi? Yah, bisa iya bisa nggak. Emang musti dipikir mendalam sih men. Bukan cuma melebar lebih lebar dari layar monitor :D
Knowledge is free? Yah sapa juga yang ngomongin bayaran, men. Hahaha… men, mulailah membedakan mana yang khayalan sama yang bukan :) Bisa aja khan ada orang bikin film yang isinya bohong semua. Bukan gak boleh sama sekali. Tapi kurangilah. Sumber yang lebih terpercaya ada kok. Itulah yang dijadikan referensi utama. Tapi, ya kalau Anda mau :)
Daripada kelamaan debat kusir, mari kembali ke topik :)
Betul Pak. Intinya ada pada kesepahaman. Kalau sudah sama pahamnya, yah mereka bisa lanjut. Berhubung Anda membawa agama dalam topik Anda, yah saya tambahkan, yaitu hubungan beda keyakinan, silahkan dicek pada masing-masing ajaran agama yang Anda yakini. Itu pun hanya berlaku bila memang agama masih dianggap penting. Kalo udah gak dianggap penting, yah ampe mulut berbusa juga gak bakalan didengerin.
@hamzter
Emang ada kusir lagi debat di sini ham? Yang mana, yang mana? Hehehehe.. Ga mau ah Ham, debat sama lo mah gw kalah pengalaman, secara dari umur aja udah kalah.. hihihi.. :D
Betul betul betul, kalau standarnya tidak terbatas itu adalah Tuhan. Maka tidak ada lagi yang tak terbatas, kecuali Dia. Maafkan kesombongan saya, suhu. ;)
Hey, knowledge is really free. Bukan masalah bayaran lah. Cuma ya masalah niat. Knowledge kan bukan berarti harus ilmu yang gimana2, tapi apapun bisa kita jadikan pengetahuan. Termasuk debat kusir. :P hihihi.. Betul Ham, bisa aja orang bikin film isinya bohong semua, nah kalo udah kayak gitu kan tergantung penontonnya jadinya, mau merespon seperti apa.
Seperti sistem aja, ada input, proses, output. Nah, di dalam prosesnya itu kan, setiap orang berbeda-beda. Input yang sama, bisa diproses berbeda, dan menghasilkan output yang berbeda juga. Ketika kita nonton film, ya ndak ditelen bulet2 langsung kan, tapi banyak yang diproses, dicerna, atau bahkan didiskusikan seperti film ini, untuk menghasilkan output yang baik.
Itu sebabnya, ada film yang disukain sama orang, tapi belum tentu kita sukain juga. Karena beda cara pandang. Beda selera. Beda di tahap “proses”nya itu.
Nah, kalo kembali ke topik, justru itu yang mau ditanya Ham. Udah ngalor ngidul ke mana-mana kita, tapi Anda belum memberikan jawaban : cinta atau agama? :) Mana yang Anda anggap lebih penting?
@armeyn
Wuih.. Sistematis sekali (input, proses, output). Anda asisten sistem ya dulu? :D
Berdasarkan tinjauan secara ilmiah, bukti empiris, pengalaman pribadi, metafisis, penjelasan sebelumnya, bla bla bla.. dan sebagainya. Kesimpulannya adalah agama. Bagaimana dengan Anda? Atau mungkin ibu Dina Rianti mau berkontribusi juga? Mungkin ada pengalaman yang bisa dibagi? :D
tapi saya bukan dan ga pernah jadi asisten hamz, jadi ga sistematis sepertinya.. hehehe
baiklah menurut saya pribadi sebagai (calon) Ibu, :), saya belum berani untuk meninggalkan keyakinan saya demi cinta, mungkin tidak lebih tepatnya..
and Im not going to “memburai-buraikan” personal life in public area, (at least not in others blog, hahahhaa)
Di suatu pagi seorang gila berlari ke pasar lalu berteriak:”Aku mencari Tuhan ! Aku mencari Tuhan”. Orang lalu berkerumun menontonnya. “Memangnya, Tuhan pergi ke mana, Dia lari atau pindah rumah?” Tanya seorang penonton di pasar itu sinis. Orang gila itu menatap tajam semua orang yang monontonya di pasar itu lalu bertanya “Coba [terka] kemana Tuhan pergi? Tak ada jawaban. Orang gila itu menjawab sendiri “Aku mau mengatakan kepada kalian. Kita telah membunuhnya. Ya kita semua telah membunuhnya!”
read more:
http://www.insistnet.com/index.php?option=com_content&view=article&id=151:atheis&catid=2:hamid-fahmy-zarkasyi
notes yang begitu luar biasa……
hanya saja paragraf terakhir agak bertentangan dengan paragraf2 sebelumnya.
anda tidak suka menganggap agama sebagai ‘Tuhan’ dan anda juga berkata pada paragraf2 sebelumnya bahwa manusia yang menciptakan agama. namun pada paragraf terakhir anda berkomitmen pada agama. hehehe… no offense.. :D
anyway.. this note is so amazing…..
@pecel
trimakasih! :)
sebenarnya paragraf terakhir bukanlah sebuah pertentangan, namun saya menyuguhkan sebuah realita tentang kehidupan : hidup adalah pilihan. Saya berkomitmen pada sebuah agama, adalah setelah paham dan tahu, apa esensi yg ada di balik agama itu.
ketika anda baca semua komen (baca:debat kusir) antara saya dan teman saya di post ini, mudah2an anda mendapatkan inti dari keseluruhan tulisan ini. :)
Salam!
saya mulai melihat sedikit intinya.
dari tulisan di atas, saya menebak agama anda kristen (bnr ga tebakan saya?) :D
krn sy jg seagama dgn anda, maka saya juga mengetahui bahwa agama kita berdasar pada “karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga…..”
sekarang saya mengerti bahwa anda berkomitmen pada cinta/kasih yang merupakan esensi dari agama anda.
saya yg harusnya berterimakasih.
arigato…
wow! :)
ya betul, saya kristen, tapi yakinlah bahwa saya bukan kristen KTP. hehehe.. betul, begitu banyak konsep tentang “kasih” yang saya pahami ketika mulai mengerti mengenai “agama” yang sesungguhnya. Bukan hanya sekedar ritual, atau tradisi bawaan, melainkan sebuah bentuk nyata kasih yang menjadi ucapan syukur kita, karena kita lebih dahulu dikasihi olehNya. Bukan begitu? :)
Ahaha,,jangan berterimakasih kepada saya, dong. Saya tidak percaya pada kebetulan, dan jika anda berpikir bahwa anda kebetulan mampir di blog ini, yakin juga lah bahwa itu bukanlah kebetulan. Pasti ada maksud indah yang Tuhan sediakan untuk anda. Senang sekali menjadi bagian dari itu. :)