Menjadi Berbeda

Sore itu saya sedang pusing.

Persiapan untuk packing kebutuhan sebulan di Seoul belum juga kelar, kerjaan yang harus dikebut sebelum saya berangkat juga belum rampung, tiba-tiba seorang teman mengirimkan whatsapp yang isinya mengingatkan jadwal sharing session di divisinya besok pagi. Astaga.

Sebenarnya saya ngga lupa-lupa amat dengan jadwal itu, tapi memang saya lagi berusaha mereschedule acara tersebut ke bulan depan. Tapi apa daya, teman saya tersebut sangat kekeuh dengan jadwalnya, dan meminta dengan sedikit memaksa agar saya tidak membatalkan acara besok.

Yang bikin saya sakti kepala adalah pemilihan temanya : How To Be A Good Emloyee and Be The Chosen One. Emang kampret temen saya yang satu ini. Bikin tema koq ya absurd banget. PR BANGET. SIAUL.

Sepanjang malam, saya berpikir keras mengenai apa yang akan saya sampaikan besok. Bukan, bukan karena temanya ngga jelas. Tapi justru karena temanya umum banget, membuat saya makin susah menentukan topiknya. Tapi yah namanya juga deadliner sejati, maka di saat-saat terakhir justru pikiran saya semakin cemerlang (kayaknya), dan terciptalah sebuah file powerpoint untuk sharing session tersebut.

Tema besarnya adalah : BE DIFFERENT.

Kenapa? Karena untuk bisa dilihat “baik”, maka kita harus mencolok. Maka kita harus berbeda. In a good way, pastinya. Kalau kita sama saja dengan semua orang di divisi kita, di unit kita, lantas apa yang membuat orang lain berpikir bahwa kita baik? Bahwa kita berbeda? Bahwa kita lebih baik daripada yang lain?

Lantas saya coba mem-breakdown ide besar tersebut, ke dalam beberapa poin. Pertama, tentang bagaimana menjadi berbeda dalam pekerjaan kita. Bagi saya yang saat ini berada di middle management (tsahelah), ada satu poin khusus untuk “menandai” subordinate saya yang unggul, yaitu melalui deliverables-nya.

Apaan sih tuh?

Ya gampangnya gini aja: kita diminta untuk mengerjakan sesuatu, maka hasil yang kita deliver ke atasan/rekan kerja itu yang seperti apa. Apakah di bawah ekspektasi? Sesuai ekspektasi? Atau melebihi ekspektasi?

Cara paling mudah menandai rekan kerja adalah mereka yang:

  1. Hasil kerjanya paling komplit;
  2. Siap dengan berbagai kemungkinan dan solusinya;
  3. Pekerjaan selesai dengan rentang waktu untuk dilakukan review oleh atasan/rekan kerja.

Selain itu, mereka yang punya inisiatif tinggi juga biasanya punya nilai plus di mata atasan. Artinya, mereka yang menyediakan data yang kira-kira diperlukan tanpa harus diminta, mereka yang menyiapkan kemungkinan pertanyaan dan jawaban, mereka yang sudah melakukan segala cara untuk menyelesaikan kerjaan, adalah masuk kategori mereka yang menonjol.

Hal kedua, adalah networking.

Percuma kerjaannya bagus, inisiatifnya tinggi, deliverable time-nya paling OK, tapi kerjaannya ngga ada yang “menikmati”. Itu ibarat kita nanem kopi, nunggu sampe mekar, dipetik, dipanggang, digiling, direbus, dan akhirnya jadi kopi, tapi kita sendiri yang menikmati. Somehow, it looks like…err…useless.

Pasti, pasti ada kenikmatan tersendiri ketika menikmati kopi yang kita tanam dan giling sendiri. Tapi akan lebih bermanfaat ketika kopi itu dinikmati juga oleh orang lain. Spread the happiness. Membuat kita dinotice sebagai pembuat kopi nikmat.

Itu yang membuat kita berbeda.

Maka jaringan dalam pekerjaan adalah hal yang amat sangat mutlak. Dalam hal ini, ada 3 hal yang harus dan wajib dilakukan, yaitu :

  1. Keberanian untuk memulai percakapan;
  2. How to communicate;
  3. Maintain the relationship.

Semuanya susah, terutama untuk saya. Kalau dalam sebuah forum dan isinya orang-orang yang belum saya kenal, saya cenderung menyingkir dan memantau dari kejauhan. Enggan terlibat. Tapi ya jadinya saya mentok-mentok aja di situ, ngga bergerak ke manapun.

Ketika kita berani memulai, misalnya dengan say hello, coba tanyakan nama, browsing di internet, add friend di social media, dan coba memulai pembicaraan ringan tentang topik yang kita temukan di social media, niscaya (HALAH NISCAYA) networking itu akan terbangun dengan sendirinya.

Tau Pak Poltak? @hotradero? Awalnya saya hanya follow beliau di twitter, hingga suatu hari beliau diperkenalkan keliling kantor sebagai Kepala Divisi Riset di kantor saya. Ketika bersalaman, saya dengan penuh kekaguman bilang bahwa saya follower beliau di twitter, dan seterusnya dan seterusnya. Sejak saat itu, setiap kali bertemu, saya cukup sering membahas perihal apa yang beliau kemukakan di twitter, sembari bertukar pikiran.

Bukan tidak mungkin, kalau tidak karena twitter, maka saya akan terus melihat beliau sebagai selebtwit semata, dan saya hanya dilihat sebagai “salah satu karyawan kantor” saja. Tapi toh topik pembicaraan bisa dimulai dari mana saja, dan ketika networking itu terbentuk, kita mungkin ngga akan tahu kapan persisnya networking itu bisa berguna untuk karir kita. Tapi percaya deh, pasti berguna.

Yang terakhir, yang perlu kita ubah adalah cara berpikir kita. THINK POSITIVE.

Kadang kita dikasi kerjaan yang bahkan kita aja bingung ini tujuannya apa. Kadang kita ngerasa kerjaan kita ngga sebanding sama gaji kita. Kadang kita ngerasa kenapa bukan bos kita yang ngerjain sih. Dan lain lain.

Dulu, saya juga pernah berpikir seperti itu. Kesel banget rasanya. Koq bos saya enak banget main nyuruh saya ngerjain sesuatu, deadline mepet, harus tanya sana sini, dan banyak reviewnya pula. Tapi beberapa waktu kemudian, ketika saya berada di posisi bos saya tersebut, baru saya menyadari manfaat kerjaan tersebut. Itu ibarat potongan BPJS Hari Tua yang dipotong tiap bulan tanpa kita tahu pasti apa manfaatnya, tapi ujung2nya pas kita udah pensiun, dah ngga punya penghasilan tetap, maka BPJS Hari Tua itulah yang sangat membantu kita.

Sesi tanya jawab berlangsung dengan sangat aktif, dan pertanyaan teman-teman bener2 membuat saya mesti memutar otak. Misalnya, ada yang nanya “gimana kalo ada orang-orang di sekitar kita yang bilang bahwa kita caper lah ke Bos, atau ngata2in kita karena kita mau sok2an berbeda?”. Atau ada yang nanya “gimana sih cara mengajak orang untuk bisa jadi berbeda juga? gimana sih cara menginspirasi orang untuk bisa berbeda?”

Menurut saya, ketika kita memilih untuk “berbeda”, maka dipandang “aneh” itu adalah risiko yang melekat. Bahasa kerennya : inherent risk. Ya ngga bisa dihindari lagi gitu. Pasti ada aja yang mikir begitu. Tapi ya high risk high return, dan ketika kita memutuskan untuk jadi “ngga biasa”, ya risiko itu memang mesti kita terima.

Cara menginspirasi buat saya ada banyak, namun yang saya pegang adalah prinsip-prinsip Ki Hajar Dewantara : (1) ing ngarso sung tulodo, (2) ing madyo mangun karso, dan (3) tut wuri handayani. (di depan memberi contoh, di tengah memberi semangat, di belakang memberi dorongan). Ketika kita menjadi berbeda, dan sukses membuat diri kita “lebih” daripada yang lain, maka prinsip ing ngarso sung tulodo telah kita terapkan. Tinggal bagaimana orang lain mencontoh cara dan sikap kita.

Diskusi kami harus diakhiri karena sudah waktunya sholat Jumat. Ngga terasa saya begitu bersemangat berbagi pikiran dengan mereka. Saya harap, semakin banyak orang-orang yang mau ambil risiko menjadi “berbeda” daripada yang lain. Seperti kata pepatah : hanya ikan mati yang ikut arus.

angSEMANGAT!

(((((HALAAAAAAAHHHH)))))

2 thoughts on “Menjadi Berbeda

  1. Hi bro Armeyn, uda lama ya gak pernah contact. Terakhir yg gw ingat pas maen futsal kayaknya zaman sma. Anyway, nice article bro. Mood booster di saat moment kerjaan lg berada di titik bawah… Thank you for sharing bro.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s