“Bang, gw minta waktu dong.”
“Men, ada yang mau diomongin nih”
“Pak, kapan ada waktu kosong? Mau ngobrol-ngobrol aja nih.”
Beberapa kalimat yang pernah menjadi momok di hari-hari saya, ketika satu persatu rekan kerja, baik senior maupun junior, meminta waktu untuk ngobrol. Bukan artinya biasanya kita ngga ngobrol, bukan. Hanya saja, kalo perlu waktu khusus begini, biasanya urusannya adalah tentang resign alias mengundurkan diri.
Hidup itu memang pilihan sih, termasuk juga tentang karir. Apalagi untuk beberapa rekan senior (di atas 10 tahun bekerja), pilihan untuk mengundurkan diri itu sangat banyak faktor pendorongnya. Istilahnya, dari dalem organisasi itu sendiri. Bisa karena karir mandeg, target sadis, atau worklife yang ngga balance.
Sebaliknya, untuk rekan junior (1-3 tahun bekerja), faktor penariknya lebih kuat. Dalam bahasa lain, di luar lebih “menantang”. Pingin belajar hal baru (halah klise amat), pengen nyobain industri lain, atau emang salah masuk dari awal. Ya siapa suruh apply yak.
Tahun 2013-2015 lalu, Divisi saya memegang rekor sebagai divisi dengan turnover tertinggi. Kurang lebih 15 orang mengundurkan diri hanya dalam periode 18 bulan, yang artinya hampir tiap bulan ada yang resign. Padahal proses mencari pengganti itu puanjangnya bukan main, mulai dari filter CV, tes ini itu, interview ini itu, sampe ke tes kesehatan. Udah panjang-panjang pun belum tentu diterima di tes akhir, misalnya karena si calon karyawan punya penyakit bengek menahun dan berisiko mati cepet.
Eh ngga se-ekstrim itu juga sih.
Anyway, mengalami lima belas kali “perpisahan” bukan hal mudah. Sudah kehilangan teman, kehilangan rekan kerja juga. Terbayang sedihnya di hari terakhir mereka bekerja, lantas terbayang pula repotnya hari-hari berikutnya di mana mereka sudah tidak bekerja di tempat kami lagi. Amsyong.
Lima belas kali perpisahan, membuat saya akhirnya bisa mengambil kesimpulan : semua hanya masalah duit.
Saya ngga bicara nominal, tapi lebih kepada nilai. Lah sama juga ya? Bukan, bukan. Maksudnya nilai di sini adalah “value” dalam bahasa inggris. Bukan nilai nominal, tapi nilai intrinsik dari gaji yang diterima.
Misal : sampeyan digaji 20 juta untuk menjadi penjaga toilet. Bagi beberapa orang, dua puluh juta untuk lap ceceran air, bekas pipis, dan tisu toilet adalah sebuah penghinaan. Dua puluh juta tersebut tidak bisa membayar “gengsi” untuk ditanya “kerja di mana?” dan dijawab “di toilet”, utamanya ketika reuni teman SMA atau teman kuliah.
Bagi sebagian orang lainnya, dua puluh juta tersebut adalah sangat luar biasa. Kenapa? Mungkin karena dia pernah menjadi tukang sedot tinja keliling dan dibayar hanya satu juta. Maka dua puluh juta untuk pekerjaan yang saya jabarkan di atas tadi menjadi make sense, bahkan “bernilai” jauh dari ekspektasi.
Atau contoh lainnya, yang pernah dialami oleh teman saya. Kerja di Kantor Akuntan Publik Big-4, digaji enam juta rupiah. Pulang kerjanya barengan sama karyawan lain yang baru masuk kantor. Kadang kena sakit liver. Tifus. Bos ngehe. Lalu ditawari kerjaan di tempat saya, 8to5, lembur jarang banget, dapet makan siang, bos-nya asik. Tapi, gajinya empat juta.
Diambil ngga? Diambil juga. Karena value empat juta tadi ternyata cukup masuk akal kalo dituker dengan enam juta tapi jomblo terus dan berpotensi cepet mati karena bosnya ngehe. Karena value empat juta tapi bosnya ganteng dan baik adalah sebuah keberkahan yang tak ternilai harganya. Ehe. Ehe.
Dari dua cerita tersebut (dan tentunya belasan cerita lain yang ngga bisa saya jabarkan satu per satu), maka saya kembali pada kesimpulan saya di awal tadi : semuanya hanya tentang duit.
“Men, aku sih ya kalo bisa, pengen balik lagi aja ke sana deh. Di sini dibayarnya gede tapi tekanan kerjanya gila bangettt,” kata seorang ibu paruh baya yang dulu pernah menjadi rekan kerja saya.
“Lho, kenapa Bu? Kan enak kalo gajinya gede, tiap sore bisa jalan-jalan ke mol biar ngga stress..”
“Ah mending gajinya kecil tapi hati tenang. Daripada ngga tenang begini, pulang ke rumah masih kepikiran kerjaan teruuus.. Bos dari regional minta ini itu, saya jadi…” dan seterusnya sampai saya harus menjauhkan gagang telpon dari telinga saya supaya ngga terasa panas.
Bagi saya, setiap pekerjaan memiliki value-nya masing-masing. Tapi ukuran cukup atau tidaknya duit gajian dengan beban kerja, lingkungan kantor, jarak kantor, jam pulang kantor, tekanan dari bos, dan hal-hal lainnya, memang kembali ke diri masing-masing. Sepanjang “batas toleransi” gaji versus hal-hal tadi masih make sense, just stay with it. Atau kalau sudah ngga masuk akal, just go and get another job.
Saya juga bukannya tidak pernah di posisi tersebut. Pernah, bahkan mengarah ke sering. Situ berani bayar berapa untuk mengkompensasi semua opportunity cost kalo saya pindah ke tempat situ? Maka buat saya semuanya masih sama : masalah duit.
“Gimana Bang, udah ada waktu belum?”
“Eh iya, lupa. Sekarang juga bisa koq. Kenapa? Kenapa?”
“Itu cuti aku tolong diapprove dong.”
“Halah.”
iya deh Pak. Bapak ada waktu ga pak? Pengen narikin rambutnya Bapak. ahahahahaha…
Ya ampun meyn, sama gw juga suka deg-degan kalo ada yang mengawali percakapan dengan “mbak, aku pengen ngomong”. gw pikir gw doang yang suka uring-uringan kalo ada yang mau resign. Kadang kesel, pengen marah tapi namanya juga orang pengen pergi ngga mungkin juga nahan-nahan terus. Kadang-kadang bikin mikir “yaelah namanya juga kerja emang susah kali, manja bgt sih” tapi mungkin apa yang tolerable buat gw belum tentu tolerable buat mereka dan sebaliknya. Harus berhati ikhlas aja kayanya huhuhuhu
Aku juga pernah ada diposisi didatengin orang buat “mbak boleh ngobrol ga?”
Sampe akhirnya aku sendiri yg ngalamin itu, hehe.
Yang dicari dari pekerjaan memang uang, tepatnya buat biaya hidup. Tapi kalo ternyata dari cara ngedapetin uang itu justru malah gak punya kehidupan buat apa? Fufu..
@cupah
betul, udah cari duit susah2, tapi ga pernah dinikmati. ciyan.
Kalau maunya sih jadi bos aja jadi enggak ngerasaain semua itu. hehe