Surrender : “resignation: acceptance of despair.”
Dalam bahasa Inggris, surrender diartikan sebagai sebuah pengunduran diri; penerimaan diri terhadap keputusasaan. Atau dengan kata lain : menyerah. Ya, dalam hidup, seringkali kita mengalami sebuah keadaan di mana kita hendak menyerah. Sering bahkan. Lantas kita merasa bahwa menyerah adalah pilihan terbaik. Atau justru saat tidak ada pilihan, maka kita menyerah?
Namun saya tidak berbicara mengenai menyerah. Tidak. Saya berbicara tentang menyerah pada kekuasaan yang lebih besar dari kita; alias pasrah. Ya, pasrah. Pasrah bukan berarti merelakan semuanya terjadi apa adanya. Pasrah juga bukan berarti melemparkan tanggungjawab kepada pihak lain. Pasrah juga bukan berarti kita berhenti berusaha dan meninggalkan pekerjaan yang sedang kita kerjakan.
Lagu ini terngiang-ngiang di kepala saya, setelah saya membaca postingan Grace mengenai kutipan Alkitab favoritnya. Sebuah rangkaian ayat yang indah luar biasa, yang selain menguatkan, juga memberikan pengharapan, sekaligus kepasrahan. Ayat-ayat tersebut menginspirasi Sidney Mohede dan Ruth Sahanaya dalam lagu ini : “Lord I Surrender”.
Search me O’ Lord
And seek out my heart (O’ God)
Surround me with Your Spirit
And never be apartO’ where can I go from Your Spirit
And where can I go from Your presence
As high as the heavens to the deepest sea
O’ Lord, You are thereChorus:
How great is Your love that Your mercy for me
With every breath I take I will worship
Lead my way, I pray
Lord I surrenderHow awesome Your presence
Your glory I see
I bow down before You in worship
I will wait on You
Lord I surrender
Lagu yang telah lama tidak saya dengarkan, namun membuat saya merinding di kala menyenandungkannya kembali. Mengapa? Karena mengingatkan saya pada sesuatu yang telah lama saya lupakan untuk dilakukan, yakni pasrah.
Sering, bahkan sangat sering, saya mengandalkan diri sendiri dalam pengambilan keputusan. Berusaha mendahului Tuhan. Menganggap saya yang sekarang telah dapat mengatur hidup, tanpa ada campur tangan Yang Kuasa. Menganggap logika saya lebih benar ketimbang mempertanyakannya pada Dia yang memberi saya logika. Merasa sayalah yang menjalani hidup ini, dan saya yang paling tahu yang terbaik untuk hidup saya.
Dan saya salah.
Dengan begitu banyaknya pilihan dalam hidup, sebenarnya, tidak ada satupun yang bisa kita kendalikan. Tidak ada. Pilihan-pilihan yang kita buat, akan membawa kita pada pilihan-pilihan lain yang lebih rumit, lebih sulit. Kadang pilihan yang tidak perlu logika, melainkan perlu iman dan kedekatan padaNya.
Di sana lah saya merasa, saya perlu pasrah. Bertanya padaNya, mendengarkan hikmat yang Ia berikan (lewat jalur apapun), dan mengambil keputusan. Lalu membiarkan Tuhan bekerja melalui pilihan-pilihan yang kita ambil, apapun itu. Pasrah. Tunduk. Karena kita lemah. Karena kita powerless.
Ya, kita punya kekuatan untuk melakukan pilihan. Tuhan memberikan kita kesempatan seluas-luasnya untuk menentukan hidup kita. Namun Ia juga tidak ingin kita menuju ke arah yang salah. Ia juga tak ingin kita berjalan tanpa arah. Ia, yang Maha Pengasih, menginginkan yang terbaik untuk kita. Pada waktuNya.
Itulah pasrah. Iman.
I do my best, and God do the rest.
One thought on “surrender”